PROSPEK PERKEMBANGAN AGRIBISNIS DI INDONESIA
Oleh: Ir. Untung Jaya
Tabloid Agribisnis Dwimingguan AGRINA
Semiloka Pengembangan Kurikulum Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian
Universitas Islam “45”Bekasi, 29 Juni 2010
Agribisnis sudah menjadi kata atau istilah atau terminologi yang umum dan
meluas di Indonesia terutama dalam 10 tahun terakhir ini. Walaupun sebelumnya
kata atau istilah agribisnis ini telah ada, tetapi tidak sepopuler dan semeriah
pada periode 1995-2004. Bahkan kata ‘agribisnis’ telah masuk dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga yang diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Bahasa Indonesia
edisi tahun 2005, yang mendefinisikannya sebagai usaha yang berkaitan dengan
pertanian. Berarti kata ‘agribisnis’ telah secara resmi dianggap dan
diperlakukan sebagai istilah umum di Indonesia.
Sebagai langkah
awal, agribisnis dapatlah didefinisikan seluruh kegiatan dan usaha yang
berkaitan langsung dengan pertanian (dalam pengertian budidaya pertanian/farming).
Sistem dan usaha agribisnis diartikan sebagai suatu kesatuan yang utuh dari
semua kegiatan dan usaha yang berkaitan langsung dengan pertanian.
Sejak 1970,
sebagian besar negara termasuk negara-negara maju sedang giat-giatnya
mengadopsi dan menikmati revolusi hijau, termasuk Indonesia. Melalui teknologi
revolusi hijau tersebut banyak negara yang berhasil meningkatkan produksi
komoditas agribisnisnya. Bahkan dalam kurun 1970 – 2000 secara global terjadi
surplus produksi khususnya bahan pangan (excess supply). Surplus
produksi tersebut menyebabkan harga-harga bahan pangan menjadi murah (di bawah
harga keenomiannya), sehingga pada periode tersebut masyarakat internasional
menikmati era pangan murah.
Proses
industrialisasi yang sangat intensif di berbagai negara dan pertumbuhan
penduduk dunia telah membawa perubahan yang fundamental dalam pasar agribisnis
global. Perubahan variabel permintaan pangan jauh melampaui perubahan dalam
produksi pangan dunia. Akibatnya, sejak 2000 pasar agribisnis berada pada
kondisi kelebihan permintaan (excess demand). Hal tersebut mendorong
harga-harga produk agribisnis global meningkat tajam dalam 10 tahun terakhir.
Dan diperkiraan akan terus berlangsung ke depan.
Indonesia sebagai
negara agribisnis berpeluang besar untuk memanfaatkan era pasar pangan mahal
tersebut. Meskipun tidak mudah, Indonesia masih lebih mudah mengambil manfaat
dari era baru tersebut dibandingkan negara-negara lain.
PERUBAHAN PASAR AGRIBISNIS GLOBAL
Dalam 10 tahun
belakangan ini setidaknya ada empat variabel permintaan pangan global yang
berubah secara signifikan dan gagal diantisipasi pengambil kebijakan di
berbagai negara sebagai berikut.
Pertumbuhan
Pendapatan
Beberapa tahun
terakhir banyak negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat,
jauh di atas pertumbuhan negara maju. Menurut data IMF (2007) negara berkembang
yang di dalamnya terdapat 75% penduduk dunia menikmati pertumbuhan ekonomi 6 –
9% per tahun. Contohnya, China dan India ekonominya tumbuh rata-rata 9% per
tahun dalam periode 2003 – 2007. Demikian juga negara berkembang di Afrika
menikmati pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% per tahun.
Jika sebelumnya
negara-negara berkembang tersebut tergolong rendah konsumsi pangannya dengan
peningkatan pendapatan yang relatif cepat mendorong peningkatan konsumsi
pangan yang cukup besar. Sebagai gambaran (FAO 2007),
konsumsi pangan China dalam kurun waktu 1990 – 2006 naik 50 – 400% tergantung
bahan pangan, India pada periode yang sama meningkat 20 – 70%.
Komposisi Penduduk
dan Urbanisasi
Dalam beberapa
dekade terakhir telah terjadi perubahan komposisi penduduk akibat urbanisasi
yang cepat di negara-negara berkembang. Pertumbuhan penduduk di daerah
perkotaan telah melebihi pertumbuhan penduduk di daerah pedesaan. Peningkatan
jumlah penduduk perkotaan dengan pangsa usia produktif lebih besar, pergeseran
gaya hidup, dan pertumbuhan pendapatan yang relatuf tinggi meningkatkan konsumsi
pangan. Konsumsi pangan di perkotaan negara berkembang lebih tinggi daripada di
pedesaan.
Pergeseran Selera
Pangan
Akibat pertumbuhan
ekonomi dan urbanisasi di negara berkembang, dalam dekade terakhir ini telah
menyebabkan terjadinya pergeseran selera konsumsi pangan yang dramatis.
Pergeseran selera pangan ini diperkuat pula oleh globalisasi yang berlangsung
dalam dekade terakhir ini. Pergeseran selera pangan terjadi baik pada pangan
pokok maupun pangan secara keseluruhan.
Pergeseran selera
pangan di negara-negara berkembang terjadi dari pangan pokok ke produk pangan
bernilai tinggi, seperti sayuran, buah-buahan, susu, daging, dan minyak nabati.
China misalnya, konsumsi biji-bijian mengalami penurunan sebesar 20% pada 2007
dibandingkan konsumsi 1990, sementara konsumsi minyak nabati, daging, susu,
buah, sayur, dan ikan naik dratis sebesar 240 – 350% pada periode yang sama.
Peningkatan konsumsi susu dan daging tersebut akan meningkatkan permintaan
bahan baku pakan seperti jagung, kedelai, dan lainnya.
Subsititusi Energi
Fosil
Makin langkanya
energi fosil dan meningkatnya ancaman pemanasan global akibat konsumsi energi fosil,
telah mendorong banyak negara untuk mengurangi dan mensubtitusi energi fosil
dengan energi nabati (biofuel). Amerika Serikat dan China mengambangkan etanol
dari jagung, Brazil dan India mengambangkan etanoil dari tebu, dan Uni Eropa
lebih banyak mengembangkan diesel dari minyak nabati. Ditargetkan sampai 2010
sekitar 5 – 15% konsumsi energi fosil digantikan dengan biofuel.
Peningkatan
produksi biofuel tersebut jelas meningkatkan penggunaan bahan baku pangan
seperti jagung, tebu, minyak nabati, dan lainnya. Amerika Serikat sebagai
produsen jagung terbesar di dunia, menggunakan sekitar 30% produksi jagungnya
untuk bahan baku etanol. Demikian juga Uni Eropa, Kanada, China dan negara
lainnya menggunakan produksi bahan pangan untuk bahan baku biofuel.
KONDISI PANGAN DUNIA
Dari sisi
penawaran juga terjadi perubahan secara global. Volume penawaran bahan pangan
global tergantung pada produksi dan stok bahan pangan global. Menurut data FAO
2007, produksi biji-bijian dalam periode 1999 – 2007 cenderung stagnan. Bahkan
produksi biji-bijian dunia pada 2006 turun 2,4% dibandingkan dengan 2005.
Produksi gandum AS dan EU, produsen gandum terbesar dunia, dalam periode 2004 –
2006 mengalami penurunan sebesar 12%. Demikian juga produksi jagung mengalami
penurunan 12 – 16% pada periode yang sama.
Sementara produksi
biji-bijian China mengalami peningkatan sekitar 12% pada 2006 – 2007, demikian
juga produksi beras India meningkat hampir 9%. Namun peningkatan produksi di
China dan India tidak mampu menutupi penurunan di AS dan EU. Keadaan ini
bertambah parah dengan peningkatan konsumsi pangan, sehingga stok pangan
mengalami penurunan dalam kurun 2000 – 2007. Total stok biji-bijian dunia (FAO
2007) turun dari sekitar 650 juta ton menjadi 400 juta ton. China yang menguasai
hampir 40% stok biji-bijian dunia turun drastis, dari 310 juta ton menjadi 150
juta ton pada periode yang sama.
Sedangkan produksi
bahan pangan bernilai ekonomi tinggi, seperti sayur, buah, daging, dan susu
mengalami peningkatan khususnya di negara-negara berkembang. Dalam periode 2000
– 2006, produksi sayur, buah, daging, dan susu di negara maju meningkat sekitar
0,2 – 0,6% per tahun. Sedangkan di negara berkembang tumbuh lebih cepat, 2,9 –
4% per tahun. Namun pertumbuhan konsumsinya secara global pada priode yang sama
lebih besar.
Penurunan
pertumbuhan produksi dan stok bahan pangan global dalam dekade terakhir
disebabakan beberapa faktor sebagai berikut.
Perubahan Iklim
Global
Perubahan iklim
global menyebabkan anomali iklim dan pemanasan global. Berbagai bentuk anomali
iklim seperti banjir di AS, UE, China, Australia, Indonesia dan negara lainnya
dalam periode 2000 – 2007 telah merusak dan menurunkan produksi bahan pangan
global. Demikian juga kekeringan yang terjadi di berbagai negara menyebabkan
penurunan produksi bahan pangan.
Kenaikan Harga BBM
Dunia
Naiknya harga BBM
dunia dari sekitar US$ 50 per barrel pada 2000 menjadi sekitar US$ 100 pada
2007 mempengaruhi produksi bahan pangan dunia. Kenaikan harga BBM menyebabkan
kenaikan biaya pupuk, biaya transportasi, dan biaya produksi lainnya. Proses
produksi bahan pangan di negara-negara maju yang lebih padat mekanisasi
menyebabkan kenaikan biaya produksi yang relatif besar dibandingkan negara
berkembang.
Konversi Lahan
Meningkatnya harga
bahan baku biofuel seperti jagung telah mendorong terjadinya
persaingan lahan antartanaman, yakni dari tanaman lain ke jagung atau tanaman
minyak nabati lainnya. Akibatnya produksi tanaman yang terkonversi mengalami
penurunan.
Selain didorong
oleh kenaikan harga bahan-bahan baku biofuel, konversi lahan
pertanian juga telah lama terjadi pada hampir setiap negara. Untuk pembangunan
industri dan pemukiman membuat lahan-lahan pertanian subur di sekitar kawasan
perkotaan banyak yang mengalami konversi. Akibatnya kemampuan produksi bahan
pangan pun mengalami penurunan.
Secara
keseluruhan, produksi pangan global dalam periode 2000 – 2006 memang masih
meningkat sedikit. Namun peningkatan permintaan pangan global jauh lebih tinggi
daripada peningkatan produksi pangan global. Dalam periode tersebut permintaan
biji-bijian global meningkat sekitar 8%, yakni peningkatan untuk bahan pangan
dan pakan naik 4 – 7% dan peningkatan untuk biofuel naik lebih
dari 25%. Sementara itu, produksi biji-bijian hanya naik sekitar 2%. Akibatnya
harga naik hampir 50%.
Kenaikan harga
bahan pangan global tersebut secara teoritis akan mendorong peningkatan
produksi. Hal ini bisa saja terjadi dalam jangka panjang, sedangkan dalam
jangka pendek respon produksi sangat kecil mengingat elastisitas produksi
pangan inelastis. Peningkatan harga sebesar 10% hanya direspon dalam bentuk
peningkatan produksi sebesar 0,1 – 0,2%.
PROYEKSI PASAR AGRIBISNIS GLOBAL
Berbagai badan dan
lembaga internasional telah melakukan proyeksi tentang kondisi masa depan
pangan global. Dari proyeksi tersebut ada empat variabel penting yang
menentukan situasi pangan global di masa yang akan datang. Keempat variabel
tersebut adalah pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, urbanisasi, subsitusi
energi fosil dengan biofuel, dan perubahan iklim global.
Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang
Pertumbuhan atau peningkatan pendapatan yang akan terjadi pada 75% penduduk
dunia (penduduk negara berkembang) tersebut akan meningkatan konsumsi pangan,
mengingat sampai saat ini konsumsi pangannya masih tergolong rendah
dibandingkan negara maju. Sekalipun konsumsi biji-bijian dan umbi-umbian
cenderung turun, konsumsi buah, sayur, daging, dan susu akan meningkat tajam
baik konsumsi per kapita maupun konsumsi total.
Urbanisasi
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang yang umumnya terjadi dan
tercepat di daerah perkotaan akan mendorong terjadinya urbanisasi yang lebih
cepat. Diperkirakan pada 2030 populasi penduduk dunia di
perkotaan akan mencapai 61% dan akan meningkat mendekati 75% menjelang 2050.
Urbanisasi
menyebabkan pergeseran selera pangan seperti yang telah terjadi dalam satu
dekade terakhir di negara-negara berkembang. Pergeseran selera yang dimaksud
adalah menurunnya konsumsi beras per kapita, meningkatnya konsumsi gandum per
kapita, meningkatnya konsumsi sayur, buah, daging, dan susu, serta meningkatnya
konsumsi pangan dengan berbagai atribut modern.
Substitusi Energi
Fosil dengan Biofuel
Peningkatan
substitusi energi fosil dengan biofuel selain didorong
kelangkaan energi fosil, juga didorong oleh upaya internasional untuk
mengurangi emisi CO2 sebagai upaya mengatasi pemanasan global
sesuai amanat Protokol Kyoto. Penggunaan biofuel dipandang
solusi strategis karena selain mengurangi emisi CO2 juga
sekaligus menyerap CO2 atmosfir melalui fotosintesis tanaman
bahan baku biofuel. Pengembangan biofuel global
akan berdampak terhadap peningkatan permintaan dan harga produk pertanian.
Perubahan Iklim
Global
Diperkirakan
perubahan iklim global yang semakin menguat di masa yang akan datang. Penyebab
utama perubahan iklim global tersebut adalah kenaikan temperatur atmosfir bumi.
Secara keseluruhan akibat pemanasan sampai 2020, produksi pertanian global akan
turun 16% dimana penurunan produksi sampai 20% terjadi di negara berkembang dan
6% di negara maju.
Proyeksi pangan
global di atas menunjukkan bahwa di masa yang akan datang pasar pangan global
akan menghadapi pergeseran dan kenaikan permintaan yang dramatis baik karena
pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang maupun akibat substitusi energi
fosil dengan biofuel. Sedangkan dari sisi produksi, peningkatan
produksi pangan global akan menghadapi dampak negatif perubahan iklim global
yang menurunkan kemampuan planet bumi dalam memproduksi pangan.
IMPLIKASI BAGI AGRIBISNIS INDONESIA
Indonesia
berpeluang menjadi pemain global dan berperan dalam feeding the world,
setidaknya dalam kelompok produk agribisnis 4 F (Food, Feed, Fuel, dan Fiber).
Keempat produk tersebut merupakan kebutuhan dasar masyarakat dunia di mana pun
dan sampai kapan pun.
Untuk menjadikan
Indonesia unggul dalam 4 F tentu tidak datang dengan sendirinya. Bahkan jika
hanya mengandalkan cara-cara dan perhatian yang selama ini dalam pengembangan
agribisnis, sulit untuk menjadi unggul dalam 4 F tersebut. Kita memerlukan cara
baru, semangat baru, dan generasi baru dalam mengembangkan agribisnis di
Indonesia ke depan. Pembangunan agribisnis harus kita lakukan secara total dan
jangan setengah hati atau sambil lalu.
Pembangunan
ekonomi yang dimotori pembangunan agribisnis yang dimaksud mencakup keempat
komponen (subsistem) sebagai berikut.
Pengembangan
industri-industri hulu pertanian (up-stream agribusiness) yang
menghasilkan barang-barang modalbagi pertanian, seperti industri pembibitan,
pupuk, pestisida, vaksin dan obat hewan dan ikan, serta industri alat dan mesin
pertanian, peternakan, dan perikanan.
Pembangunan
pertanian (on-farm agribusiness) baik tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Pembangunan
industri pengolahan hasil pertanian (down-stream agribusiness) yang
mengolah hasil-hasil pertanian menjadi produk-produk agribisnis setengah jadi
dan produk jadi, seperti industri pengolahan makanan dan minuman, industri
pakan ternak dan ikan, industri biofuel, industri biofiber,
dan industri lainnya.
Pengembangan jasa
untuk agribisnis (services for agribusiness) seperti perdagangan
antardaerah, internasional, penelitian dan pengembangan, pendidikan,
penyuluhan, infrastruktur, perbankan, asuransi, transportasi, pergudangan,
serta kebijakan pemerintah (fiskal, moneter, kelembagaan, peraturn daerah, dan
tata ruang.
Keempat komponen
tersebut harus dilihat dan dibangun secara utuh, sinergis, harmonis, dan
integratif, dan dilakukan di seluruh daerah Indonesia sesuai dengan potensi
agribisnis lokal yang ada. Indonesia tidak mungkin unggul dalam 4 F jika yang
dikembangkan hanya pertanian, industri pengolahan, atau industri hulu saja.
Indonesia harus mengembangkan keempat komponen agribisnis tersebut secara
integratif dan dalam satu kawasan yang ekonomis.
0 komentar:
Posting Komentar